Cerpen : Merelakan Yang Dicintai

💔Merelakan yang Dicintai🥹

Aku masih ingat suara langkah ibu di dapur setiap subuh, menyiapkan sarapan seadanya sebelum beliau berangkat jualan gorengan keliling kampung. Aku ingat bagaimana beliau menatapku yang mengantuk, sambil berkata pelan,

    “Sekolah yang rajin ya, Nak. Biar hidupmu lebih baik dari Ibu.

Aku ingat semua itu setiap kali aku duduk di meja kantorku, di balik komputer yang layar monitornya sering menampilkan laporan yang belum selesai. Aku bangga bisa sampai di sini, kerja kantoran dengan gaji tetap, pakai baju rapi, sepatu hitam yang licin setiap pagi, dan melihat wajah ibu tersenyum di hari aku pertama kali tanda tangan kontrak kerja.

Tapi, hidup nggak berjalan semulus itu. Setelah aku menikah dan melahirkan anakku, tubuhku mulai sering menyerah. Rasanya seperti lilin yang meleleh pelan-pelan. Bangun pagi sering pusing, napas pendek waktu naik tangga, dan lututku kadang bergetar waktu berdiri lama nunggu angkot.

Aku pernah nangis diam-diam di mushola kantor, waktu dapat kabar anakku demam dan aku nggak bisa pulang cepat karena lembur. Aku duduk lama sambil nanya dalam hati,
     “Apa benar aku masih kuat begini?”

Aku coba bertahan. Demi gelar sarjana yang aku perjuangkan dengan air mata. Demi ibu yang pernah rela kehujanan demi membayar SPP-ku. Demi rasa bangga waktu aku kirim gaji pertama ke kampung.

Sampai satu hari, anakku dirawat karena sesak napas. Aku bolak-balik kantor dan rumah sakit, tubuhku pun drop sampai demam tinggi. Saat itu aku tahu, aku harus memilih.

Malam itu, aku duduk di samping ranjang anakku di rumah sakit, memegang tangannya yang kecil dengan jarum infus menancap. Aku melihat wajahnya yang pucat, napasnya naik turun dengan susah payah, dan tiba-tiba aku sadar:

Aku tidak sanggup kehilangan dia, hanya karena aku terlalu sibuk mempertahankan sesuatu yang bisa aku relakan.

    “Aku mau resign,” kataku ke suamiku. 

Matanya lama menatapku.
lalu dia menghela napas dan memelukku erat.
    
     “Kalau itu yang bikin kamu sehat, dan anak kita terurus, aku setuju.”

Hari aku menyerahkan surat resign, rasanya seperti merelakan separuh hidupku pergi. Banyak yang bilang, 

   “Sayang banget, dapat kerja kayak gitu susah,” atau 

    “Ibumu pasti kecewa.”

Tapi aku hanya tersenyum. Mereka tidak tahu rasanya menatap anakmu tidur dengan selang oksigen, sementara kamu duduk di ruang tunggu rumah sakit sambil mengecek email kerjaan.

Aku pulang ke rumah dengan hati kosong, tapi juga penuh. Kosong karena aku berpisah dengan sesuatu yang aku cintai, tapi penuh karena aku tahu aku memilih sesuatu yang lebih penting: keluarga dan kesehatan.

Ibu memang bekerja keras supaya aku sekolah tinggi, tapi ibu juga selalu bilang,
     “Yang penting kamu bahagia, Nak.” 
Dan hari itu aku memutuskan untuk memperjuangkan kebahagiaan yang lebih utuh: kebahagiaan menjadi ibu yang hadir sepenuh hati.

Sekarang, aku masih bangun pagi, tapi bukan lagi untuk mengejar angkot. Aku bangun untuk memeluk anakku, untuk menyiapkan sarapannya dengan senyum, dan untuk mendengar dia memanggilku “Ibu” tanpa rasa terburu-buru.

Dan kau tahu, menjadi ibu sepenuh hati ternyata juga adalah pekerjaan yang tidak semua orang bisa jalani, tapi aku bersyukur Allah masih memberiku kesempatan untuk itu.

Aku tidak menyerah karena lemah. Aku memilih berhenti karena aku cukup kuat untuk tahu apa yang benar-benar penting.

Dan itu, adalah cinta.
●●●




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zombie At Work Place

World Lupus Day : PLSS

Menangislah