Pernahkah Terfikir....?

Renungan;

Pernahkah kita benar-benar memikirkan—bagaimana pakaian yang kita kenakan bisa tersusun rapi di dalam lemari?
Atau bagaimana makanan hangat bisa terhidang setiap hari di meja makan?

Sebagian dari kita mungkin akan menjawab:
“Oh, itu karena ada petani kapas, pabrik konveksi, kendaraan pengangkut, dan toko yang menjual.”
Atau:
“Itu karena ada petani sayur, peternak, nelayan, pasar, dan swalayan.”

Benar. Itu bagian dari prosesnya.
Namun, itu baru setengah dari seluruh cerita.

Masih ada satu bagian yang kerap terabaikan.
Bagian yang tidak kalah penting—dan mungkin, justru paling menyentuh.

Pakaian yang kamu pakai hari ini…
Sebelumnya telah dicuci, dibilas, dijemur, diangkat, disetrika, dan disusun dengan rapi.
Agar kamu bisa mengenakannya dengan nyaman, bahkan mungkin sudah diberi pewangi agar terasa segar.

Makanan yang kamu santap siang tadi…
Seseorang membelinya, mencucinya, memotongnya, meraciknya, memasaknya, dan menatanya dengan sepenuh hati.
Agar kamu bisa menikmatinya dengan lahap.

Lalu, siapa yang melakukannya?

Jika kamu memiliki asisten rumah tangga, mungkin sebagian tugas itu dipegang olehnya.
Tapi jika tidak… maka jawabannya hampir selalu sama: Ibumu/Istrimu.

Beliau tidak melakukannya untuk dirinya sendiri.
Beliau melakukannya untuk semua anggota keluarga.
Setiap hari. Tanpa jeda. Tanpa banyak kata. Tanpa permintaan imbalan.

Dan yang paling sering terjadi:
Tak ada satu pun yang berkata,

Terima kasih, Bunda, sudah mencuci bajuku.”

“Terima kasih, Bunda, sudah memasakkan makanan.”

Padahal beliau tak pernah lupa untuk terus melakukannya.

Bahkan saat tubuhnya lelah.
Saat hatinya jenuh.
Saat pikirannya penuh.

Kadang ia mendapati pakaian kotor yang diletakkan sembarangan.
Lemari yang telah ia tata rapi kembali berantakan.
Masakan yang dimasaknya dengan cinta tersisa begitu saja karena tak selera.

Mungkin sesekali ia marah, dengan suara tinggi:
“Kenapa begini?”
“Kenapa kamu tidak bisa lebih peduli?”

Tapi tahukah kamu, bahwa sesungguhnya…
Di balik suaranya yang keras, ada hati yang pelan-pelan menangis.
Tangis yang tidak selalu terlihat, tidak selalu terdengar. Air matanya mengalir tanpa suara.
Karena amarahnya sering dianggap seperti suara bising yang tak penting.

Ibumu/Istrimu tidak menuntut ucapan terima kasih, apalagi pujian palsu.
Yang ia butuhkan hanyalah: pengertian.
Bahwa setiap keringat yang menetes, setiap masakan yang ia sajikan, setiap lemari yang ia rapikan… adalah bentuk kasih sayang.
Cara sederhana namun sangat dalam… untuk mencintaimu.

Maka sambutlah cinta itu.
Jangan abaikan proses yang telah ia lalui hanya karena kamu terbiasa menerimanya.

Mulailah dengan menghargai.
Tunjukkan rasa sayang dengan menjaga apa yang sudah ia siapkan.
Dan sesekali, temani ia. 
Bantu ia. 
Sekecil apa pun usahamu, itu akan berarti besar baginya.

Karena tak ada yang lebih membahagiakan bagi seorang ibu/Isteri…
Selain ketika anak-anak/suaminya menyadari bahwa segala yang mereka kenakan, makan, dan terima—pada dasarnya adalah cinta yang dibungkus dalam kerja keras seorang ibu/istri.

Hargailah proses. Hargailah kasih Sayangnya.
Sebelum semua itu hanya bisa kamu kenang dari jarak yang tidak bisa dijangkau kembali.


---



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zombie At Work Place

World Lupus Day : PLSS

Menangislah