"Kita Satu Tim" vs " Kita Hanya Mesin"

Cerita ini dimulai di Pagi hari, aroma kopi dan tawa ringan memenuhi ruang kantor desain kecil bernama Arunika Studio. Tujuh orang bekerja di sana, dan walau tempatnya sederhana, suasananya selalu hangat.

Dika, seorang desainer muda, baru saja masuk setelah seminggu absen karena merawat ibunya yang dirawat di rumah sakit. Begitu melangkah ke dalam, ia terkejut. Di mejanya, ada kartu ucapan bertanda tangan semua rekan kerjanya dan setangkai bunga kecil.

“Selamat datang kembali, Dika. Kami doakan ibumu segera pulih,” tertulis di kartu itu.

Air matanya nyaris jatuh.

Rina, sang manajer, mendekat dan menepuk bahunya pelan. “Kalau masih perlu waktu, kami bisa atur kerja remote. Tugas-tugasmu sudah dibantu teman-teman kemarin.”

Dika hanya bisa mengangguk haru.

Tak hanya saat senang, di kantor ini semua saling menopang ketika salah satu jatuh. Saat Wina keguguran tahun lalu, semua ikut merawatnya secara emosional. Saat Guntur putus cinta, tim diam-diam mengajaknya karaoke. Mereka bukan hanya rekan kerja. Mereka keluarga.

Setiap Senin pagi, mereka sarapan bersama sebelum mulai bekerja. Hari Jumat sore, ada waktu "refleksi" untuk berbagi cerita minggu itu—bukan soal kerja, tapi tentang hidup. Tentang anak yang sakit, hobi baru, atau kisah lucu dari kucing peliharaan.

Di Arunika, target tetap penting, tapi manusia lebih utama. Tak heran, meski gaji mereka belum sebesar di korporasi besar, tak ada yang ingin pindah.

Karena di tempat ini, mereka tidak hanya bekerja—mereka hidup.

Namun cerita berbeda di sini.
Langit mendung menyelimuti gedung pencakar langit milik GigaCorp, perusahaan raksasa teknologi. Di lantai 21, meja-meja tersusun rapi. Monitor menyala, wajah-wajah fokus. Tak ada yang bicara kecuali suara keyboard dan telepon.

Rina duduk diam di kubikel. Matanya sembab. Ayahnya baru saja dirawat di ICU. Ia sudah mengajukan cuti tiga hari lalu, tapi manajernya, Pak Jati, hanya menjawab dengan dingin, “Sebaiknya kamu pertimbangkan konsekuensi dari izin yang terlalu sering. Banyak yang bisa menggantikan posisi kita, tahu?”

Hari ini ia tetap datang. Fisiknya hadir, tapi pikirannya jauh. Saat istirahat, ia duduk di pantry, berharap ada yang bertanya kabar. Tapi semua lewat begitu saja. Teman-teman satu tim bahkan tak menoleh. Di sini, urusan pribadi dianggap gangguan produktivitas.

Jam lima sore, semua langsung bergegas pulang. Tak ada yang menunggu satu sama lain. Tak ada tawa, apalagi obrolan hangat. Di grup WhatsApp kantor, hanya notifikasi deadline dan laporan. Tidak ada emoji. Tidak ada “apa kabar.”

Gaji di GigaCorp memang besar, bonusnya menggiurkan. Tapi setiap hari terasa seperti hidup di mesin besar yang terus berdetak tanpa perasaan.

Rina tahu, suatu saat ia harus pergi. Bukan karena tidak kuat, tapi karena ia ingin menjadi manusia, bukan hanya mesin.

●●●●●

Nah bagaimana jika kondisi tempatmu bekerja seperti di GigaCorp, berikut beberapa Tips yang bisa kamu pertimbangkan:

1. Bangun “Lingkaran Kecil” Positif

Meski lingkungan besar tidak hangat, coba bangun relasi yang tulus dengan satu atau dua rekan yang bisa dipercaya. Saling mendukung dalam skala kecil sudah cukup untuk menjaga kesehatan emosional.

2. Tetapkan Batas Sehat (Boundaries)

Jangan membawa beban kantor ke rumah. Matikan notifikasi setelah jam kerja. Bila memungkinkan, jangan ragu mengambil cuti ketika perlu. Hidup pribadi tetap prioritas.

3. Jaga Kesehatan Mental Secara Aktif

Lakukan aktivitas pemulih stres di luar kantor, seperti olahraga, meditasi, journaling, atau ngobrol dengan teman dekat. Validasi perasaanmu, dan jangan anggap kamu terlalu sensitif—lingkungan yang kaku memang bisa membuat siapa pun tertekan.

4. Fokus pada Tujuan Pribadi

Jika kantor bukan tempat yang "ramah," jadikan itu tempat untuk belajar dan membangun karier, bukan untuk membentuk ikatan emosional. Ambil yang kamu bisa pelajari, bangun portofolio, lalu pertimbangkan langkah selanjutnya.

5. Cari Komunitas di Luar Pekerjaan

Gabung komunitas hobi, relawan, atau forum profesional. Kadang kita butuh rasa dihargai dan didengar, meski bukan dari lingkungan kerja.

6. Pertimbangkan Bicara ke HR (dengan Strategi)

Jika ada isu serius seperti burnout, bullying, atau beban kerja tak wajar, bisa pertimbangkan bicara ke HR. Tapi lakukan dengan hati-hati, fokus pada fakta dan solusi, bukan keluhan emosional.

7. Evaluasi: Bertahan atau Pindah?

Jika semua usaha sudah dilakukan dan tetap membuatmu tertekan secara terus-menerus, evaluasi: apakah pekerjaan ini masih sejalan dengan tujuan hidupmu? Terkadang, pindah bukan berarti kalah, tapi bentuk perlindungan diri.
---
Lalu jika yang terjadi, ternyata pilihan kamu pindah...berikut Pro dan Kontranya:
PRO (Alasan untuk Bertahan)

1. Gaji Stabil
Memberikan pendapatan rutin yang mencukupi kebutuhan hidup atau tanggungan.

2. Tunjangan atau Fasilitas Memadai
Ada asuransi, atau benefit lain yang membantu secara finansial dan kesehatan.

3. Pengalaman dan Portofolio yang Bernilai
Pekerjaan ini bisa menjadi batu loncatan atau portofolio yang berguna di masa depan.

4. Rekan Kerja Tertentu yang Positif
Walaupun secara umum lingkungan tidak hangat, ada beberapa orang yang bisa diandalkan.

5. Lokasi Strategis atau Jam Kerja Fleksibel
Dekat dari rumah, tidak menghabiskan waktu di jalan, atau ada fleksibilitas kerja.
---

KONTRA (Alasan untuk Pergi)

1. Budaya Kerja yang Tidak Sehat
Terlalu kaku, tidak ada empati, atau memperlakukan karyawan seperti mesin.

2. Kesehatan Mental Terganggu
Merasa cemas, tidak dihargai, dan stres berkepanjangan.

3. Minim Kesempatan Berkembang
Tidak ada pelatihan, promosi, atau tantangan baru. Merasa “jalan di tempat.”

4. Komunikasi Buruk dan Tidak Transparan
Sulit menyampaikan ide atau keluhan. Tidak ada ruang diskusi yang sehat.

5. Nilai Perusahaan Tidak Sejalan
Kamu menghargai keseimbangan hidup, sementara perusahaan hanya fokus hasil.

Cara Menggunakan Daftar Ini

Beri nilai pada tiap poin (misalnya 1-5), lalu jumlahkan total pro dan kontra.

Bandingkan bobotnya, bukan hanya jumlahnya. Misalnya, “kesehatan mental terganggu” bisa lebih berat dari 3 poin pro sekaligus.

Pertimbangkan waktu: apakah kondisi sekarang bisa berubah dalam 6 bulan? Atau memang sudah stagnan lama?

●●●●●●●

Tantangan budaya suatu organisasi diuji ketika bertumbuh besar. 
Karena merangkul ratusan bahkan ribuan kepala bukan suatu hal yang mudah. Namun bukan tak bisa.

Hanya butuh niat tulus dan aksi yang ikhlas, semata mata karena menghargai sesama manusia. 

Wallahu 'alam

[Dari berbagai sumber]

□□□□


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zombie At Work Place

World Lupus Day : PLSS

Menangislah