Ketika Diam Itu Adalah Teriakan

Judul: “Ketika Diam Itu Teriakan: Pelajaran dari Delapan Tahun yang Terlalu Lama”

Dalam dunia kerja yang semakin menuntut produktivitas dan efisiensi, sering kali kita lupa bahwa manusia bukan sekadar alat eksekusi. Mereka punya batas, emosi, dan kehidupan pribadi yang tak bisa dipisahkan dari identitas profesional. Artikel ini mengangkat kisah nyata seseorang—sebut saja Ayu—yang mengalami tekanan bertahun-tahun di tempat kerja, hingga akhirnya harus mundur demi menyelamatkan kesehatan mental dan fisiknya.

Loyalitas yang Dibalas dengan Beban Sepihak

Ayu bekerja selama delapan tahun di sebuah institusi. Selama itu, ia dikenal sebagai sosok yang rajin, bertanggung jawab, dan tenang. Namun dalam satu tim kecil tempat ia bekerja, ada satu rekan kerja dengan jabatan lebih tinggi yang kerap menghindari tanggung jawab. Tugas-tugasnya sering tak diselesaikan, kritik dihindari, dan setiap kali diberi pekerjaan, selalu ditolak terlebih dahulu sebelum akhirnya dikerjakan secara terpaksa—atau tidak sama sekali.

Yang lebih menyakitkan, sistem membiarkannya.

Rekan-rekan lain memilih diam. Atasan mengetahui, namun tak melakukan tindakan tegas. HR tak menyentuh isu ini. Lalu ke mana berlabuhnya beban yang ditinggalkan? Pada orang-orang seperti Ayu—yang “terlalu bisa”, “terlalu bertanggung jawab”, hingga akhirnya dijadikan penyangga sistem yang tidak adil.

Empat Tahun yang Gelap: Ketika Duka dan Tekanan Bertumpuk

Empat tahun terakhir menjadi masa paling berat dalam perjalanan karier Ayu. Di tengah beban kerja yang tidak proporsional dan kurangnya dukungan dari lingkungan kerja, ia kehilangan ibunya akibat COVID-19. Proses kehilangan yang mendalam ini datang tanpa cukup ruang untuk berduka, tanpa waktu jeda dari tuntutan kantor, dan tanpa empati yang tulus dari orang-orang di sekitarnya.

Kesehatannya mulai terganggu. Ia mengalami gangguan tidur, migrain, tekanan emosional, hingga gejala depresi. Namun karena terlihat ‘masih bisa bekerja’, kondisinya dianggap baik-baik saja. Padahal di balik senyapnya, Ayu sedang menjerit.

Ketika Sistem Gagal, Individu Bisa Hancur

Situasi seperti ini bukan hal kecil. Ketika ketidakseimbangan kerja dibiarkan, ketika ketidakadilan tidak ditangani, dan ketika beban dibiarkan menumpuk pada satu individu terus-menerus, maka kita sedang menciptakan luka yang dalam. Luka yang tak terlihat, tapi bisa menghancurkan dari dalam.

Yang sering dilupakan adalah:
Tekanan psikologis bukan cuma soal ‘tidak kuat mental’, tapi soal lingkungan yang tidak berpihak pada keadilan dan keseimbangan.

Ayu akhirnya memilih mengundurkan diri. Bukan karena kalah, tapi karena sadar: jika tidak menyelamatkan dirinya sendiri, tidak akan ada yang melakukannya. Ia butuh pulih. Ia butuh hidup.

Pelajaran untuk Semua Pihak

Untuk Rekan Kerja:

Jangan normalisasi ketimpangan. Jika satu orang dalam tim terus menanggung beban yang bukan miliknya, itu bukan karena dia “hebat”, tapi karena sistem gagal.

Suara dukungan, sekecil apa pun, bisa jadi penyeimbang emosional yang menyelamatkan.


Untuk Atasan:

Tegaslah terhadap anggota tim yang mengabaikan tanggung jawab. Ketidaktegasan bukanlah bentuk kebaikan, tapi pembiaran yang bisa menghancurkan tim dari dalam.

Perhatikan sinyal diam dari tim Anda. Tidak semua orang berteriak saat tertekan—banyak yang justru membungkam diri sambil perlahan hancur.


Untuk HR dan Manajemen:

Buat sistem penilaian kinerja dan pelaporan yang transparan dan adil.

Sediakan ruang aman bagi karyawan untuk menyampaikan tekanan kerja atau masalah personal tanpa takut distigma lemah atau tidak loyal.

Lakukan intervensi sebelum semuanya terlambat.


Akhirnya: Jangan Abaikan Tanda-Tanda

Jangan tunggu seseorang jatuh sakit atau menghilang diam-diam baru kita mulai peduli. Stres kronis, kehilangan, dan pembiaran di tempat kerja adalah racun pelan yang bisa mengubah seseorang yang awalnya penuh semangat menjadi sosok yang hancur secara emosional.

Cerita Ayu adalah peringatan. Bukan sekadar kisah tentang seseorang yang resign. Tapi tentang bagaimana sistem yang tidak adil, ditambah kehilangan besar dalam hidup, bisa membuat seseorang kehilangan dirinya sendiri.

Dan kadang, satu-satunya cara untuk sembuh adalah dengan pergi.


---



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zombie At Work Place

World Lupus Day : PLSS

Menangislah