Jangan Remehkan Ketimpangan

Judul: Jangan Remehkan Ketimpangan di Tempat Kerja—Dampaknya Bisa Sangat Serius

Dalam dunia kerja, ketimpangan bukan hanya soal gaji atau jenjang karier. Ketimpangan beban kerja dan tanggung jawab yang terus dibiarkan juga bisa menjadi sumber masalah besar yang merusak stabilitas tim, memicu konflik tersembunyi, dan yang paling sering diabaikan: menghancurkan kesehatan mental seseorang.

Tugas Tidak Dibagi Adil: Luka yang Tidak Terlihat

Sering terjadi, seseorang yang dinilai “bisa diandalkan” malah diberi beban lebih dari seharusnya. Ketika ada rekan kerja yang tidak melaksanakan tugas dengan baik—entah karena kurang kompeten, tidak disiplin, atau bahkan secara sengaja menghindari tanggung jawab—bebannya kerap kali dilimpahkan kepada satu orang dalam tim yang dianggap “paling bisa”.

Sayangnya, praktik seperti ini sering dianggap wajar. Bahkan dibungkus dengan kalimat-kalimat manipulatif seperti:

> “Dia kan cepat kerjanya.”
“Sudah biasa, biar dia saja.”
“Kalau bukan kamu, siapa lagi?”
"Karena kamu bisa melakukannya"

Tanpa disadari, ini adalah bentuk pembiaran struktural yang bisa membuat seseorang terbebani secara fisik, mental, dan emosional—perlahan namun pasti.

Ketika Tidak Ada Dukungan, Beban Jadi Luka Psikologis

Yang lebih menyakitkan bukan hanya beban kerja berlebih. Tapi juga ketiadaan dukungan dari rekan kerja, atasan, dan HR. Banyak orang mengalami tekanan psikologis berkepanjangan di tempat kerja karena mereka merasa:
●Tidak bisa bersuara tanpa dianggap pembangkang,
●Tidak memiliki ruang aman untuk menyampaikan perasaan atau masalah,
●Tidak mendapatkan keadilan ketika berkonflik dengan rekan kerja yang lebih senior atau dekat dengan atasan.

Dalam banyak kasus, penderitaan ini tidak muncul dalam bentuk marah-marah atau drama besar. Justru seringkali berupa diam berkepanjangan, kelelahan kronis, performa yang tetap tinggi tapi tanpa semangat. Itu bukan tanda kuat—itu bisa jadi pertanda seseorang sedang terbakar dari dalam.

Beban Pribadi + Tekanan Kerja = Ledakan Sunyi

Tekanan di tempat kerja menjadi jauh lebih berat ketika seseorang juga sedang mengalami masalah pribadi—seperti kehilangan orang tua, masalah kesehatan, perceraian, atau duka besar lainnya. Saat tidak ada empati atau penyesuaian dari tempat kerja, dampaknya bisa fatal: burnout, gangguan kecemasan, depresi, bahkan keputusan ekstrem seperti resign mendadak atau hilangnya motivasi hidup.

Yang awalnya hanya ketimpangan tanggung jawab berubah menjadi luka psikologis mendalam. Dan sering kali, kantor baru menyadarinya saat orang tersebut sudah tidak bisa diselamatkan secara mental maupun fisik.

Tindakan Nyata yang Harus Dilakukan Organisasi

Untuk mencegah hal ini terjadi—atau terus berulang—organisasi perlu mengambil tindakan nyata dan konsisten. Beberapa hal yang perlu diperhatikan:

1. Tegakkan keadilan tanggung jawab.

Jangan biarkan ada anggota tim yang secara konsisten lari dari tugas tanpa konsekuensi. Ini bukan soal menghukum, tapi soal menjaga keseimbangan dan rasa keadilan dalam tim.

2. Bangun budaya komunikasi terbuka.

Ciptakan ruang aman untuk melapor dan menyampaikan kondisi mental tanpa takut dicap lemah atau “tidak profesional”.

3. Perhatikan diam sebagai sinyal.

Karyawan yang tiba-tiba menjadi pendiam, menarik diri, atau tampak kehilangan semangat bukan berarti sedang baik-baik saja. Itu bisa jadi bentuk kelelahan mental.

4. Libatkan HR secara aktif.

HR bukan hanya fungsi administratif. Mereka seharusnya menjadi penjaga kesejahteraan karyawan. Pastikan HR punya peran aktif dalam menangani ketidakseimbangan tim dan isu kesehatan mental.

5. Ukur kinerja secara menyeluruh.

Bukan hanya berdasarkan output akhir, tapi juga proses, kerja tim, dan kontribusi individual yang proporsional.

Penutup: Diam Bukan Tanda Baik-Baik Saja

Keseimbangan di tempat kerja bukan hanya soal “kerja sama”. Tapi juga soal tanggung jawab yang adil, saling memahami, dan kepedulian terhadap kondisi mental rekan kerja.

Ketika satu orang harus terus menanggung beban yang bukan miliknya, dan tidak ada yang peduli, jangan heran jika suatu hari ia memutuskan untuk berhenti—bukan karena lemah, tapi karena ingin menyelamatkan dirinya sendiri.

Dan pada titik itu, penyesalan dari tim dan manajemen sudah terlambat. Maka sebelum itu terjadi, mari mulai belajar lebih peka, lebih adil, dan lebih manusiawi.


---




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zombie At Work Place

World Lupus Day : PLSS

Menangislah