Waspada si Toxic Manipulatif
Judul: Senyum Liana
Liana selalu menjadi favorit di kantor. Pembawaannya lembut, tutur katanya sopan, dan setiap ada acara kantor, dia yang paling sigap mengatur segalanya. Semua orang menyukainya. Termasuk Arin—karyawan baru yang awalnya merasa beruntung bisa dekat dengan Liana.
Arin baru tiga bulan bekerja di departemen pemasaran. Ia masih menyesuaikan diri, dan Liana tampak seperti mentor yang sempurna. Ia membimbing Arin dengan sabar, memberi tahu hal-hal tak tertulis soal budaya kantor, bahkan membantunya menyusun presentasi pertama.
Namun, perlahan, Arin mulai merasakan keanehan kecil—terlalu kecil untuk dianggap serius.
Beberapa kali, Arin merasa seperti dikucilkan oleh rekan lain. Ketika ia bertanya, jawabannya mengambang: "Oh, Liana bilang kamu lebih suka kerja sendiri, jadi kami nggak mau ganggu."
Lalu ketika ada kesalahan data dalam laporan, Arin yang disalahkan, meski ia yakin sudah mengirim versi final yang benar. Liana, yang sebelumnya membantu menyunting dokumen itu, hanya menatapnya dengan simpati, "Mungkin kamu lupa ya, tapi nggak apa-apa. Namanya juga masih belajar." Ucapan itu lembut, tapi menohok, apalagi diucapkan di depan manajer.
Arin mulai merasa bingung. Ia mulai mempertanyakan dirinya sendiri. Apakah benar ia yang ceroboh? Apakah ia terlalu sensitif? Tapi tiap kali ia mencoba bicara baik-baik dengan Liana, wanita itu selalu tenang, memeluknya, dan berkata, "Aku cuma ingin kamu berkembang. Kalau kamu salah paham, aku sedih sekali."
Liana tidak pernah berteriak, tidak pernah terang-terangan menyakiti. Tapi Arin merasa makin terkucil, makin kecil. Ide-idenya sering diambil dan disampaikan Liana duluan, tetapi di depan orang-orang, Liana selalu memberi pujian: "Itu awalnya ide Arin, lho. Tapi aku kembangkan sedikit biar lebih tajam."
Secara perlahan, Liana membuat Arin tampak lemah tanpa pernah menjelekkan langsung. Orang-orang tetap memuja Liana. Mereka bahkan berkomentar, "Beruntung banget kamu dibimbing Liana. Dia itu kayak kakak buat semua orang."
Arin akhirnya bicara dengan psikolog kantor dalam sesi konseling bulanan. Ia menceritakan semuanya, hati-hati, takut terdengar seperti mengada-ada. Tapi dari sana, ia mulai memahami bahwa manipulasi bisa terselubung. Bahwa pelaku bisa tampil sangat peduli, bahkan menyelamatkanmu, sambil perlahan melucuti rasa percaya dirimu.
Dengan dukungan dari konselor, Arin mulai mencatat hal-hal kecil. Ia belajar menetapkan batas. Ia tak lagi membiarkan Liana "membantunya" tanpa izin. Dan saat Liana menyadari perubahan itu, ia mulai bersikap pasif-agresif—tetapi tak bisa lagi mengontrol Arin sepenuhnya.
Arin tak membongkar semuanya ke tim. Ia tahu, orang-orang harus melihat sendiri. Tapi kali ini, ia tidak lagi merasa gila karena "merasa aneh." Ia mulai mempercayai nalurinya.
Dan Liana? Ia tetap tersenyum di koridor, tetap manis, tetap bersinar. Tapi kini, Arin tak lagi berdiri di bawah bayangannya.
---
Cerita di atas mungkin pernah terjadi ya dilingkungan pekerjaan kamu. Prilaku seperti itu disebut toxic manipulatif.
Ternyata ada banyak jenisnya loh..
Jenis-jenis perilaku toxic manipulatif bisa muncul dalam berbagai bentuk, sering kali tersamar dan tidak langsung terlihat.
Bisa pada hubungan personal ataupun profesional.
1. Gaslighting
Ciri: Membuat korban meragukan ingatan, persepsi, atau kewarasannya.
Contoh: “Kamu terlalu sensitif, padahal aku cuma bercanda.” atau “Kamu pasti salah ingat, aku nggak pernah bilang begitu.”
2. Playing the Victim (Bermain sebagai Korban)
Ciri: Memutarbalikkan keadaan agar terlihat sebagai pihak yang disakiti, untuk menghindari tanggung jawab atau memanipulasi simpati.
Contoh: “Aku cuma ingin membantu kamu, tapi kamu malah nyakitin aku.”
3. Silent Treatment (Membungkam)
Ciri: Mengabaikan korban sebagai bentuk hukuman atau kontrol.
Tujuan: Membuat korban merasa bersalah atau tidak aman agar tunduk.
4. Love Bombing (di awal)
Ciri: Memberikan perhatian dan pujian berlebihan di awal hubungan untuk membangun ketergantungan emosional.
Lanjutan: Setelah korban terikat, pelaku mulai mengendalikan dan mempermainkan.
5. Triangulation
Ciri: Membandingkan korban dengan orang lain untuk menciptakan kecemburuan, ketidakpastian, atau kompetisi.
Contoh: “Sebenarnya si A lebih cepat kerjanya daripada kamu, tapi aku masih percaya kamu bisa.”
6. Pseudo-Concern (Kepedulian Palsu)
Ciri: Pelaku tampak peduli di permukaan tapi tujuannya untuk mengontrol atau merendahkan.
Contoh: “Aku cuma ngomong kayak gini karena aku peduli. Kamu nggak bisa bikin keputusan sendiri kan?”
7. Guilt-Tripping
Ciri: Membuat korban merasa bersalah agar mau menuruti kemauan pelaku.
Contoh: “Kalau kamu beneran sayang aku, kamu pasti nurutin ini.”
8. Boundary Testing
Ciri: Secara terus-menerus melanggar batas pribadi untuk melihat sejauh mana mereka bisa mengendalikan korban.
Contoh: Mengambil keputusan atas nama korban tanpa izin, lalu berkata itu demi kebaikan korban.
9. Smear Campaign
Ciri: Diam-diam menyebarkan cerita buruk tentang korban untuk menjatuhkan reputasinya, sambil tetap terlihat baik di depan umum.
10. Future Faking
Ciri: Membuat janji atau rencana besar yang tak pernah direalisasikan, hanya untuk mempertahankan kontrol atau harapan korban.
-------
Nah tetap waspada dengan lingkunganmu ya, jangan sampai terperangkap dengan person seperti ini.
Komentar
Posting Komentar